Penulis :
Tere - Liye
Tahun Terbit : 2011
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 299 Halaman
Ukuran Buka : 20 x 13,5 cm
Harga
: Rp 45.000,-
Ayahku
(Bukan) Pembohong
Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong adalah sebuah novel inspiratif yang di tulis oleh Darwis atau yang lebih kita
kenal dengan nama Tere - Liye.
Tere - Liye adalah seorang penulis novel berbahasa indonesia. Lahir pada
tanggal 21 Mei 1979 dan telah menerbitkan empat belas novel karangannya
sendiri. Tere - Liye mempunyai seorang istri bernama Riski Amelia dan seorang
putra bernama Abdullah Pasai. Tere - Liye lahir dan besar di pedalaman
sumatera. Dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia pernah mengenyam pendidikan
di SDN 2 Kikim Timur Sumsel, SMPN 2 Kikim Timur Sumsel, SMUN 9 Bandar Lampung
dan Fakultas Ekonomi UI. Karya-karya Tere – Liye yang lain adalah, Kisah Sang
Penandai, ELIANA (Serial Anak-Anak Mamak), Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin, PUKAT (Serial Anak-Anak Mamak), BURLIAN (Serial Anak-Anak), Hafalan
Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Bidadari-Bidadari Surga, Rembulan
Tenggelam Di Wajahmu, Senja Bersama Rosie, Mimpi-Mimpi Si Patah Hati, Cintaku
Antara Jakarta & Kuala Lumpur, dan The Gogons Series 1.
Novel yang memiliki tebal buku 299 halaman ini
menceritakan tentang kehidupan seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Hingga ia
tumbuh dengan cara berpikir berbeda dibanding anak lain. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika
kalian tidak menemukan rumus itu di buku ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk
menjelaskannya. Dongeng-dongeng tersebut diceritakan
oleh ayahnya sendiri. Namun dongeng-dongeng tersebut kini telah membuat Dia
membenci ayahnya sendiri.
Terdapat banyak tokoh-tokoh dalam novel ini, salah
satunya adalah Dam, dia adalah tokoh utama dalam novel ini. Dam
adalah seorang laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga yang sederahana dan keluarga
kecil. Dam tumbuh dewasa dengan dongeng-dongeng tentang perjalanan hidup sang ayah
yang menarik. Dam adalah tipe orang yang pantang
menyerah, dan sangat menghargai setiap detik kehidupannya. Ia adalah anak
tunggal yang sangat mencintai ibunya . Dam kini berusia 40 tahun dan telah
memiliki keluarga kecilnya sendiri dengan seorang istri dan dua anak yang
sangat dicintai.
Ayah
Dam adalah seorang pria yang sangat terkenal di kotanya, terkenal tak pernah
mengatakan kebohongan. Ayah Dam selalu berprasangka baik ke semua orang,
berbuat baik bahkan pada orang yang baru saja dikenal, menghargai orang lain,
kehidupan dan alam. Karena itulah dia selalu dihargai oleh semua orang. Zas dan
Qon adalah dua anak Dam yang berusia 10 dan 8 tahun. Zas adalah seorang kakak
yang selalu membimbing dan menjaga adik perempuannya Qon. Mereka berdua sangat
kompak bahkan dalam kegiatan baru mereka sekarang yaitu mendengar cerita-cerita
sang kakek – Ayah Dam.
Sudut
pandang yang digunakan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini adalah orang
pertama pelaku utama. Di mana Dam langsung menceritakan kisah hidupnya. Alur
yang terdapat di dalam novel ini ialah alur campuran atau alur maju-mudur. Yang
terkadang Dam kembali mengingat masa kecilnya dulu bersama sang ayah, ibu dan
teman-temannya. Novel ini berlatar tempat di sebuah kota kecil, sebuah sekolah
di pelosok kota yang disebut dengan Akademi Gajah. Novel ini menggunakan gaya
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh berbagai jenis kalangan penikmat
novel. Serta menyuguhkan berbagai kata-kata motivasi yang sangat menarik.
Alasan saya memilih novel ini karena banyak pelajaran
yang dapat diambil dari novel ini tantang kehidupan. Novel Ayahku (Bukan)
Pembohong ini sangat menarik untuk dibaca, karena kita akan menemukan berbagai
kejutan di dalam novel ini, menemukan cara bagaimana seharusnya kita bersikap
ke semua orang.
Tentang
Novel
Dam
kini tengah berada di ruang kerjanya. Ia sedang memperhatikan kedua anaknya Zas
dan Qon yang tengah sibuk mendengar cerita-cerita ayahnya yang menurut Dam tidak
dapat dipercaya, walau dulu ia sangat mencintai cerita-cerita ayahnya tersebut,
tapi itu tidak berlaku
lagi untuk sekarang. Dam berhenti mempercayai cerita-cerita ayahnya tersebut
ketika umurnya dua puluh tahun. Dan kini, ia melihat ayahnya tengah bercerita
cerita yang sama kepada Zas dan Qon. Dam
sangat membenci hal tersebut, ingin sekali ia menyela dan menghentikan cerita
tersebut, tapi itu tidak dilakukan karena istrinya sudah memberikan kode untuk
tidak mengusik kesenangan Zas dan Qon yang tengah bercerita dengan kakek
mereka. Dam hanya tidak mau anak-anaknya hidup
dalam cerita-cerita sang ayah, dia tidak mau membesarkan Zas dan Qon dengan
cerita-cerita dusta seperti yang dilakukan sang ayah terhadapnya dulu. Mereka
akan dibesarkan dengan kerja keras, bukan dengan cerita-cerita palsu.
Malam ini Dam begitu tercengang mendengar
cerita ayah yang menceritakan tentang Si Nomor Sepuluh, yaitu seorang pemain
bola terkenal kepada putra-putrinya. Bahkan ayah bercerita bahwa dua hari yang
lalu ayah mendapat telepon dari Si Nomor Sepuluh. Zas dan Qon seakan tak
percaya bahwa pemain bola favorit mereka menelepon sang kakek, namun dengan
keahlian ayah berdongeng,
ia dapat meyakinkan dua bocah kecil tersebut bahwa sang kakek benar-benar
berbincang dengan sang pemain bola. Dan menceritakan dua monster kecil di
rumah.
Mendengar cerita sang ayah, Dam
kembali teringat masa kecilnya dulu, jauh sebelum dia membenci ayahnya dan
menganggap cerita-cerita ayah adalah bohong.
Tiga
puluh tahun yang lalu.
Saat itu Dam berusia 10 tahun,
Dam mempunyai bentuk tubuh yang lumayan tinggi, kulitnya hitam kecoklatan dan
rambut keriting yang membuat Dam selalu menjadi bahan olokan teman-temannya di
sekolah, dan Dam membenci nama panggilan tersebut. Namun, Jarjit teman sekelasnya
sangat suka melakukan hal tersebut karena itu bisa membuat Dam marah.
Malam itu Dam tengah duduk di
depan televisi berukuran kecil di rumahnya, ia sedang menunggu pertandingan
bola dimulai. Dam tidak mau diejek pengecut lagi oleh teman-temannya lantaran
ia tidak menonton bola. Saat pemain bola favoritnya masuk lapangan, Dam
langsung berdiri dan berteriak menyebut EL CAPITANO ! EL PRINCE ! membuat ayahnya
tertawa melihat tingkah laku anaknya tersebut.
Namun sayang, 2 x 45 menit
berlalu dan klub kebanggaan Dam kalah, ia sangat kecewa karena sang Kapten kebanggaannya cedera. Ayah
kemudian datang menasehati Dam agar tidak bersedih, karena bukan Dam
satu-satunya orang yang kecewa atas kekalahan tersebut. Ayah terus berusaha
menasehati Dam agar dia tak bersedih lagi, tapi Dam masih tetap meraung atas kekalahan tersebut. Ayah akhirnya
mengeluarkan jurus andalannya yaitu bercerita. Ayah mulai bercerita bahwa ia
sangat mengenal sang Kapten
saat dia kecil.
Ayah Dam bercerita bahwa kapten kecil
pernah dipanggil si keriting pengecut – sama seperti nama panggilan Dam. Ayah Dam mengetahui itu karena dulu dia
tinggal di apartemen yang tak jauh dari tempat sang Kapten dan keluarganya tinggal. Ayah
pertama kali berjumpa sang
kapten saat umur kapten delapan tahun.
Ayah sang Kapten mati dalam perang saudara di
negeri asal mereka dan mulai saat itu kapten harus bekerja keras untuk
melanjutkan hidupnya. Malam itu, karena begitu lapar ayah memesan makanan di
restoran terkenal, ayah begitu marah karna pesanannya terlambat diantar.
Setelah satu jam menunggu, seorang anak kecil datang membawa pesanan ayah. Anak
kecil tesebut datang dengan basah kuyup karena hujan. Dan kalian tahu siapa
anak kecil
tersebut ? Ya, dia adalah sang Kapten
kebanggaan Dam sekarang, yaitu EL CAPITANO ! Sang Kapten berdiri di depan pintu apartemen Ayah Dam dengan kedinginan.
Saat umurnya delapan tahun sang
Kapten telah bekerja di restoran sup
jamur tesebut, tubuhnya pendek, dan badannya kerempeng. Ayah Dam merasa iba saat melihat sang Kapten basah kuyup terkena hujan, maka dengan
senang hati dia
mengajak sang kapten untuk masuk dan bercerita panjang lebar tentang sang Kapten dan keluarganya. Mulai sejak itu Ayah Dam dan sang Kapten seperti menjadi saudara, saling
mengerti satu sama lain dan berbagi cerita.
Saat sang Kapten tengah cedera seperti sekarang, Ayah Dam juga begitu yakin kalau sang Kapten akan terus bertanding pada
pertandingan minggu depan, karena kapten itu bukan orang yang pantang menyerah.
Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah
tentang sang Kapten
menyingkirkan cerita-cerita lain. Dam tidak tahu apakah cerita-cerita ayah
bohong atau benar. Yang jelas Dam tidak boleh menceritakan cerita-cerita
tersebut pada siapa pun termasuk ke ibunya. Dam begitu heran kenapa ayah tidak
mengizinkan Dam menceritakan hal tersebut. Dalam hati kecilnya, Dam selalu
bertanya, apakah ayah berbohong ?, tapi semua itu ditepisnya karena Dam percaya
bahwa ayahnya
orang yang jujur dan ayahnya
bukan pembohong.
Keesokan harinya, Dam pergi ke
sekolah dengan sepedanya. Dam telat setengan jam dan guru menghukumnya dengan
berdiri di pojok kelas. Seperti biasa, Jarjit dan teman-temannya tertawa dan
mengolok-olok Dam. Namun Dam tak menghiraukannya, karena hati Dam punya energy
bahagia tak terbilang pagi itu. Taani adalah satu-satunya teman yang tak
mengejek Dam. Taani begitu baik, cantik dan sempurna di mata Dam.
Pulang
dari sekolah, Dam dijemputnya ayahnya dengan angkutan umum dan langsung menuju
ke klub renang kota tersebut. Hari ini adalah hari penentuan apakah Dam layak
untuk menjadi salah satu anggota klub renang atau tidak.
Pada gelombang pertama, Dam
berhasil mencapai finish lebih dulu dari peserta yang laij, Namun saat
gelombang terakhir, semua peserta diwajibkan untuk berenang selama mingkin dan
hanya empat dari delapan peserta yang akan lolos. Dan Dam gagal melakukannya.
Dam adalah orang terakhir yang tersingkir dari tes tersebut. Ayah Dam terus
memberikan semangat kepada anaknya tersebut dan mengatakan bahwa Dam masih bisa
ikut seleksi tahun depan.
Malam itu Ayah Dam kembali bercerita tentang sang kapten. Ayah bercerita bahwa sang Kapten dulu sangat ingin menjadi pemain bola yang hebat, dia selalu berlatih menendang bola kasti karena dia tak mempunyai uang untuk membeli bola sepak. Usia delapan tahun, sang Kapten ikut antrian panjang seleksi pemain bola, namun sang kapten ditolak dengan alasan tak punya biaya dan tak cukup tinggi bahkan sebelum bisa mencoba.
Malam itu Ayah Dam kembali bercerita tentang sang kapten. Ayah bercerita bahwa sang Kapten dulu sangat ingin menjadi pemain bola yang hebat, dia selalu berlatih menendang bola kasti karena dia tak mempunyai uang untuk membeli bola sepak. Usia delapan tahun, sang Kapten ikut antrian panjang seleksi pemain bola, namun sang kapten ditolak dengan alasan tak punya biaya dan tak cukup tinggi bahkan sebelum bisa mencoba.
Dam mulai memahami bahwa
kegagalannya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sang Kapten, Dam sadar bahwa dia tidak boleh
menyerah sampai di sini, dia sudah bertekad untuk mengikuti seleksi tahun depan.
Keesokan harinya, Jarjit
kembali mengejek Dam hingga akhirnya mereka dihukum untuk membersihkan toilet
sekolah. Saat sedang membersihkan
toilet, Taani datang dengan tergopoh-gopoh. Taani langsung memegang tangan Dam
dan mengatakan bahwa dam diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengulang
seleksi renang oleh pelatih. Ternyata pelatih tersebut adalah Ayah Taani dan
Taani lah yang meyakinkan pelatih bahwa Dam berhak mengulang, karena Taani
sangat yakin kalau Dam akan menjadi perenang yang hebat.
Lima hari setelah kabar
tersebut, Dam bergegas pergi ke klub renang untuk menyelesaikan kesempoatan
keduanya. Tes kali ini adalah berenang selama satu jam tanpa berhenti. Pada
menit-menit terakhir celana renang Dam melorot lepas, simpul karet pinggangnya
terlepas, namun Dam tetap nekat untuk melanjutkan tes tersebut. Dan Dam
berhasil menyelesaikan tesnya tersebut saat digital stopwatch menunjukkan satu
jam nol menit tiga puluh detik. Dam sangat senang karena dia berhasil walaupun
sebenarnya dia malu karena masalah celana dalam yang terlepas. Setelah semua
penonton bubar, Jarjit mendatangi Dam dan mengejek dam seperti biasa. Dam
akhirnya tahu bahwa celana renangnya yang melorot disebabkan oleh Jarjit. Ya
Jarjit lah yang memotong simpul karet celana renang Dam. Sejak sore itu Dam
memendam sakit hati pada Jarjit.
Ayah Dam kembali bercerita pada
Zas dan Qon bahwa ternyata sang Kapten
kebanggaan Dam adalah paman Si Nomor Sepuluh, idola Zas dan Qon saat ini. Zas
dan Qon langsung bertanya pada kakek mereka, bagaimana sang kakek bisa tahu ?
Ayah Dam hanya mengatakan bahwa sang kapten sendiri yang memberitahukannya.
Dam kembali teringat masa
lalunya. Ayahnya ternyata benar, sang Kapten
menjadi inspirasi terbesar Dam saat ini. Kini Dam menjadi seorang loper Koran.
Ayahnya lah yang menyarankan Dam agar ia dapat memanfaatkan waktu senggangnya
dengan berjualan koran
seperti yang dilakukan sang Kapten
saat dia masih kecil. Walau sebenarnya keluarga Dam tidak mengalami kekurangan
materi.
Enam bulan berlalu, pelatih
klub renang menyiapkan Dam dan Jarjit sebagai empat perenang di kelas estafet
4x100 meter, dan ini membuat Dam sedikit kecewa.
Saat sarapan bersama ayahnya,
Dam bertanya, apakah dia bisa mengirimkan surat untuk sang Kapten ? Namun ayahnya hanya terbatuk
pelan dan menggeleng. Sebulan terakhir masalah surat-surat itu membuat Ayah Dam
sebal karena melihat Dam terus merengek meminta alamat sang Kapten atau setidaknya ayah mau mengirim
surat tersebut untuk kapten.
Pagi itu, Dam memberanikan diri
untuk pamit berangkat sekolah dan minta maaf kepada ayahnya atas kesalahan
sebulan terakhir. Dam malah memberi satu amplop surat untuk ayahnya dan bukan
untuk sang kapten yang selama ini ia impikan.
Isi
suratnya adalah.
Dear Ayah Bagiku,
sehebat apapun sang Kapten,
maka ayah lebih hebat. Izinkanlah aku menulis surat untuk ayah, dan semoga ayah
suka membacanya.
Ayah
dulu pernah bilang padaku, “Jangan-jangan kau akan menjadi orang yang paling
sedih sedunia jika malam ini
tim sang Kapten
kalah.” Ayah keliru. Malam imi, saat sendirian di kamar, saat menyadari bahwa
ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk
pertama kalinya di rumah kita, aku jauh lebih sedih dibandingkan melihat tim
sang Kapten
kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang paling tidak berterima kasih di seluruh
dunia.
Maafkan
aku. Ayah benar, surat itu tidak penting. Sang Kapten tidak akan pernah punya waktu
untuk membaca surat dariku. Taani di sekolah bilang, yang baru kusadari malam ini,
pasilah ada ribuan surat yang tiba di kotak surat sang kapten, jadi bagaimana
mungkin suratku akan mencolok perhatian dan mendapatkan balasan. Jangan-jangan
hanya puluhan stafnya yang membalas, bukan dia sendiri. Ayah benar, Taani
benar, jadi aku memutuskan mulai malam ini tidak akan membicarakan surat-surat
itu lagi.
Sekali lagi maafkan aku.
Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam.
Ibu
Dam meletakkan surat itu di atas meja, sesunggukan, menyentuh jemari suaminya,
menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “
Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali…Sungguh dia akan tumbuh
besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat
aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”
Hari ini, Dam kembali berkelahi
dengan Jarjit, tapi kali ini lawannya bukan hanya Jarjit, tapi juga empat
kawannya. Dan jelas Dam lah yang kalah. Dam sering kali mendapat perlakuan
seperti ini, mulai dari hari pertama ia sekolah Jarjit sudah terbiasa memukul
Dam. Namun Dam hanya diam, karena dia tidak suka berkelahi, itu melanggar
separuh cerita-cerita ayahnya. Hari itu Dam pulang dengan babak belur.
Esok harinya sekolah libur.
Latihan klub renang dimulai sejak pagi. Dam dan Jarjit telah bersiap untuk
memulai perlombaan renang antara mereka berdua, pagi itu hanya ada Dam dan
Jarjit di klub renang. Jika Dam kalah, dia harus mengaku pada semua orang bahwa
dia adalah seorang pengecut, dan jika Jarjit kalah, Jarjit lah yang harus
berhenti mengejek Dam pengecut.
Semalam sebelum pertandingan
dengan Jarjit, Dam mendapat telepon dari Taani. Taani menjelaskan pada Dam
mengapa Jarjit sangat membenci Dam. Ternyata yang membuat Jarjit membenci Dam
adalah karena setiap hari Jarjit selalu mendengar pujian-pujian terhadap Dam,
mulai dari papanya yang selalu membanggakan Dam, bahkan sampai semua pembantu
di rumah Jarjit membicarakan Dam dan ingin mengenal sosok Dam yang selalu
dibanggakan di rumah tersebut. Dam hanya bisa menelan ludah mendengar cerita
Taani, baginya ini sungguh tidak masuk akal.
Kembali ke pertandingan,
pertandingannya amat sederhana. Siapa yang lebih dulu menyelesaikan jarak 4x100
meter, dialah yang menang. Pertandingan antara keduanya terus berlanjut,
sepuluh meter lagi Dam akan berhasil memenangkan pertandingan, namun
dibelakangnya, Jarjit terlihat meminta tolong pada Dam, Jarjit hamper mati
tenggelam. Dam sangat panik dan langsung menolong Jarjit keluar dari kolam
renang dan membawanya ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Saat di
angkutan umum Dam memangku Jarjit dan mata mereka bersitatap sejenak. Saat
itulah Dam tahu bahwa masalah mereka kini sudah selesai, tidak ada lagi sinar kebenciaan
di mata Jarjit.
Malam itu, saat makan malam,
Dam begitu terkejut karena mendapat surat yang diantar oleh seorang tukas pos.
Dam terkejut bukan karena tukang pos mengantar surat tengah-tengah malam, tapi
terlebih karena amplop surat itu datang dari seberang lautan dengan logo
kebanggaan tim besar Dam. Tanpa Dam sadari, ternyata ayahnya mengambil
surat-surat untuk sang kapten hang dulu dibuang Dam ke kotak sampah, dan
ayahnya mengirimkan surat tersebut ke sang kapten.
Hanya Taani yang tahu semua cerita
Ayah Dam tentang sang kapten dan tentang
surat-surat tersebut. Dam begitu senang menceritakan semua itu pada Taani,
sampai dia lupa bahwa ayahnya selalu berpesan bahwa itu hanya rahasia antara
ayah dan anak. Kebahagiaan Dam bertambah besar karena dia dan Jarjit lolos
menjadi wakil klub dalam lomba renang nasional.
Hari itu, Taani membuat Dam
benar-benar marah, karena Taani menulis semua cerita-cerita Dam tentang sang
kapten di buku diarynya dan lupa membawa pulang buku tersebut. Dan berita hebat
pun datang, semua penghuni sekolah Dam kini tahu bahwa Ayah Dam mengenal sang
kapten, dan mereka semua seakan berebut untuk diperkenalkan ke sang kapten.
Setelah kejadian ini, Dam mulai menjaga jarak dengan Taani dan tidak menganggap
Taani sebagai teman dekatnya lagi.
Hari penting bagi Dam dan
anggota klub renang tiba. Hari ini Dam, Jarjit dan anggota klub renang akan
berlomba memperebutkan juara nasional. Dam dan Jarjit serta dua anggota lain
siap bertanding pada nomor estafet 4x100 meter dengan gaya bebas. Suara
tembakan tanda start terdengar. Bagai elang Jarjit melompat ke dalam kolam.
Jarjit adalah perenang dengan start terbaik di kejuaraan ini, dan Dam jelas
juga jadi yang terbaik. Klub renang mereka berhasil membawa pulang piala
kemenangan nasional pada nomor estafet 4x100 meter dan beberapa piala lainnya.
Dan ini tidak terlepas dari semangat semua anggota klub dan persahabatan antara
Dam dan Jarjit.
Sebagai hadiah atas kemenangan
Dam, ayahnya kemudian membeli tiga tiket VIP untuk melihat langsung pertandingan
persahabatan antara klub sepak bola kota mereka dengan klub sang kapten
kebanggaan Dam. Selama hidupnya, baru kali ini ayahnya membeli benda paling
mahal secara tunai. Malam itu Dam langsung memeluk erat ayah dan ibunya dan
mengucapkan terima kasih. Saat menonton pertandingan tersebut, Dam dan penonton
lainnya begitu semangat memberi
dukungan. Peluit panjang kemudian dibunyikan, dan sang Kapten kebanggaan berhasil mencetak dua
gol.Saat akan keluar dari lapangan dan kembali ke ruang ganti, sang Kapten sudah begitu dekat dengan Dam, Dam
berencana akan memberikan kausnya untuk ditanda tangani sang Kapten. Tapi ayahnya langsung menarik
tangan Dam dan mengajaknya pulang tanpa memberi kesempatan bagu Dam untuk melawan. Dam
begitu kecewa kepada ayahnya. Sejak pertandingan persahabatan itu, cerita
tentang sang Kapten
ditutup dari pembicaraan Dam dan ayahnya.
Tiga tahun melesat dengan
cepat, usia Dam sekarang lima belas tahun. Dia dan teman-temannya sudah lulus
SMP dan ayahnya mengirim Dam ke sekolah berasrama antah berantah di uar kota
yang sebelumnya tidak pernah didengar Dam. Nama asrama yang dimaksud Dam adalah
Akademi Gajah. Di asrama ini lah Dam mendapat banyak teman baru. Selama tiga
tahun di Akademi Gajah, Dam kehilangan kesibukan menjadi loper koran, kehilangan malam-malam bersama ibu
dan di atas segalanya, Dam kehilangan cerita-cerita ayahnya yang menyenangkan.
Cerita-cerita yang bisa memunculkan rasa tenteram, mengusir rasa sedih.
Selama tiga tahun di Akademi
Gajah, Dam juga mendapat banyak pengalaman baru, misalnya dihukum menunggui
apel jatuh bersama Retro teman sekelasnya, dihukum membereskan dapur asrama,
belajar memanah walau sasarannya selalu meleset, dihukum membereskan pustaka
selama sebulan penuh dan kegiatan yang sangat di sukai Dam adalah menggambar
sketsa bangunan sekolah dan Akademi Gajah.
Saat tahun kedua di Akademi
Gajah, Dam dan Retro
dihukum membereskan pustaka asrama. Ini adalah hukuman yang diharapkan oleh
Dam, karena dengan berada di gedung pustaka dia bisa banyak membaca buku dan terlebih
karena dia dapat menggambar sketsagedung pustaka tersebut. Dan Retro selalu
saja mempersoalkan tentang hukuman ini.
Hingga hari ke dua puluh enam,
Retro mulai terbiasa dengan kegiatan barunya dan tengah menikmati buku
bacaannya, tiba-tiba Dam menarik buku yang tengah dibaca oleh Retro. Sebuah
buku tua yang judul depannya tak lagi asing baginya. Dam kemudian membaca
beberapa paragraf dan beberapa halaman buku tersebut. Semua detail cerita buku
tersebut sama persis dengan cerita pengalaman hidup ayahnya. Di dalam buku tua
tersebut menceritakan cerita tentang Apel Emas Lembah Bukhara seperti yang
diceritakan ayahnya. Cerita ini adalah salah satu cerita favorit Dam saat masih
kecil. Lembah Bukhara adalah tempat pemberhentian pertama ayahnya setelah enam
bulan meninggalkan kota mereka, pergi berpetualang. Itulah yang diceritakan
ayahnya kepada Dam. Tapi kenapa sekarang cerita tersebut ada dalam sebuah buku
dogeng ? Kenapa cerita ayah sama persis dengan yang ada di dalam buku ? Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di telinga Dam sekarang.
Dam kemudian mencari buku tua
lainnya, dia berharap dapat menemukan lebih banyak buku tua yang ceritanya sama
persis dengan cerita ayahnya. Dan benar saja, Dam menemukan sebuah buku tua
lainnya berjudul Suku Penguasa Angin.
Isinya sama Persis seperti cerita ayahnya. Inilah cerita petualangan Ayah Dam
berikutnya.
Saat berpetualang Ayah Dam
kehabisan bekal dan telah sampai di sebuah padang pengembalaan luas di sebelah
utara. Suatu malam kaki ayah Dam gemetar, matanya berkunang-kunang, hanya soal
waktu semua akan berakhir. Penat fisik juga penat hati, bercampur aduk. Saat
itulah terdengar seruan-seruan kencang. Derap lari ribuan ternak. Tetapi, mata
Ayah Dam mengerjap-ngerjap, dia begitu kaget karena penggembala tidak datang
dengan menaiki kuda, tapi mereka mengendarai layang-layang raksasa, terbang di atas
kepala Ayah Dam. Merekalah yang disebut dengan Suku Penguasa Angin. Saat Ayah
Dam akan pergi melanjutkan perjalanan pulangnya, dia diberikan hadiah istimewa
oleh Kepala Suku Penguasa Angin yang biasa dipanggil dengan Tutekong. Tutekong
mengantar Ayah Dam ke titik terluar wilayah penggembalaan mereka dengan menaiki
laying-layang legendaris, diiringi belasan pengembala lainnya. Itu pengalaman
yang menakjubkan bagi Ayah Dam. Melihat mereka berseru-seru menggiring ternak
dari atas langit. Tetukong membuat laying-layang berputar, meliuk, bahkan
bersalto di atas awan.
Tahun kedua di Akademi Gajah
telah dilewati oleh Dam. Saat liburan, seperti biasa Dam akan pulang ke
rumahnya, bertemu ayah dan ibunya. Saat sampai di rumah, Dam begitu sedih
karena ibunya sedang sakit. Hingga libur panjang hampir usai, Dam menghabiskan waktu dengan menemani
ibunya, menceritakan banyak hal tentang Akademi Gajah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Malam sebelum liburan berakhir, mereka merayakan ulang tahun ibu di teras
rumah. Dam memberi
ibunya kartu ucapan sebagai kado. Dan ibunya sangat terharu dan berkata bahwa
itu kado terindah yang pernah diterimanya. Kartu itu bertuliskan “Selamat ulang tahun, Ibu.
Kau wanita nomor satu dalam hidupku”.
Di malam itu juga, Dam bertanya
pada ayahnya, apakah Apel
Emas Lembah Bukhara sungguhan ? Apakah ayah
pernah membaca buku tentang dongeng-dongeng itu ? Mendengar Dam bertanya
seperti itu, ayahnya sangat tersinggung, dia kecewa karena Dam menganggap
cerita-ceritanya adalah bohong. Padahal semua orang tahu bahwa ayahnya tak pernah berbohong. Saat mengantar Dam ke stasiun kereta keesokan paginya,
Dam dan ayahnya masih terlihat canggung satu sama lain karena peristiwa
semalam.
Tahun ketiga di Akademi Gajah.
Dam mulai disibukkan dengan kegiatan barunya, yaitu membantu perkampungan dekat
Akademi Gajah. Setiap soere, Dam membantu menangkap ikan, dan pekerjaan
lainnya. Dam juga meminta izin kepada kepala sekolah untuk membuka kesempatan
bekerja untuk murid lainnya, dan kepala sekolah menyetujui usulan Dam. Setelah
sebulan bekerja, Dam menyisihkan gajinya tersebut untuk biaya perawatan ibunya
yang sakit, dan jumlahnya akan semakin bertambah selama Dam rajin bekerja.
Ruang
kerja Dam, hari ini.
Dam marah besar, karena dia
mendapatkan surat dari sekolah Zas dan Qon. Isinya adalah bahwa orang tua Zas
dan Qon dipanggil kepala sekolah, karena sudah dua hari berturut-turut dua
anaknya bolos sekolah. Hari pertama mereka pulang lebih cepat. Hari kedua
mereka bahkan tidak masuk sekolah dari pagi. Dam dengan tidak sabar menunggu
kedua anaknya pulang dan langsung bertanya apa alasan mereka bolos sekolah.
Istri Dam terus menasehati dam agar dia tidak marah-marah kepada anak-anak.
Ternyata selama bolos sekolah Zas dan Qon pergi ke perpustakaan kota untuk
mencari tahu tentang cerita-cerita sang kakek.
Malam itu juga, dam langsung
berbicara dengan ayahnya tentang kenakalan Zas dan Qon, tentang bolos sekolah
untuk mencari tahu kebenaran dari cerita-cerita sang kakek. Mereka memeriksa
seluruh daftar buku, mengelilingi semua rak, membaca setiap bab. Mereka bolos
tiga hari untuk memenuhi rasa ingin tahu apakah kakek tersayang mereka sedang
berbohong atau sungguhan saat menceritakan petualangan hebat masa mudanya. Dam
memohon pada ayahnya untuk berhenti bercerita pada Zas dan Qon dan menjelaskan
pada mereka bahwa cerita-cerita itu bohong. Tapi Ayah Dam tetap bilang bahwa
cerita itu sama sekali bukan rekayasanya.
Saat Dam berada di ruang
kerjanya, Zas masuk menemui Dam dan meminta maaf karena sudah membuat papanya
marah. Dan memberikan sebuah surat untuk Dam, yang isinya.
Dear
Papa,
Tiga hari ini kami dihukum di
sekolah, disuruh menulis “Kami janji tidak akan bolos sekolah lagi” sebanyak
sepuluh lembar penuh kertas folio dengan huruf kecil-kecil setiap hari. Tangan
Zas seperti kebas, pegal, gemas, padahal baru di halaman delapan. Qon bahkan
menangis, meski jumlah halamannya separuh dari Zas. Dia belum pandai menulis,
dan ibu guru galak menyuruhnya mengulang jika tulisannya tidak rapi.
Tetapi hukuman di sekolah tidak
ada apa-apanya dibandingkan hukuman yang Papa berikan. Jangan cuekin kami lagi
ya, Pa. Tidak mengapa Zas dan Qon disuruh masuk kamar, dilarang main selama
seminggu, disuruh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, tapi jangan cuekin
kami lagi. Qon semalam bahkan bertanya, apakah Papa membencinya? Apakah Qon
harus pergi dari rumah? Zas bingung menjawabnya. Lagi pula kalau Qon harus
pergi, belum tentu juga ada keluarga yang mau ditumpangi ya, Pa. Dia kan paling
malas bangun pagi, makan paling banyak, dan paling berisik dalam rumah. Jadi
karena Zas tidak bisa menjawabnya, dan Qon terus menangis di kamar, Zas akhirnya memutuskan menulis
surat saja ke Papa.
Ini semua salah Zas. Seharusnya
Zas mendengarkan kalimat Papa, tidak penting cerita Kakek itu bohong atau
sungguhan. Papa benar, anggap saja seperti menonton film yang seru. Sungguh
maafkan Zas. Tidak mengapa Papa marah pasa Zas, tapi Papa tidak boleh marah
pada Qon, juga tidak boleh marah pada Kakek, tidak boleh marah pada Mama,
semuanya salah Zas. Itu ide Zas pergi ke perpustakaan kota. Kami tidak akan
bolos lagi, Pa. Janji.
Zas dan Qon, penggemar Papa
nomor satu.
Dam sangat terharu membaca surat dari anaknya tersebut.
Ruang
makan Akademi Gajah
Saat sedang makan, petugas
senior meneriakkan nama Dam di pintu ruang makan. Keras sekali. Dam ragu-ragu
berdiri, petugas senior itu mengatakan bahwa Dam ditunggu kepala sekolah di ruangannya.
Dam begitu takut, karena dia berfikir bahwa kepala sekolah mengeluarkannya dari
Akademi Gajah, karena malam sebelumnya Dam melakukan kesalah besar. Yaitu ikut
berburu dengan tim pemburu sekolah. Padahal tiga minggu lagi ujian lulusan akan
dilaksanakan. Kepanikan Dam bertambah saat kepala sekolah mengatakan “Kau harus segera berkemas, Dam.” Dam langsung mengigit bibir. Itu memang
kejahatan nomor satu, ikut berburu ke dalam hutan tanpa izin, membahayakan
semua anggota lain. Tamat sudah tiga tahun luar biasaku di Akademi Gajah. Pikir Dam dalam hatinya. Ternyata pemikiran Dam salah.
Maksud kepala sekolah menyuruh Dam segera pulang bukan karena dia dikeluarkan
tetap karena Ibu Dam sakit keras, dan tadi malam dibawa ke rumah sakit.
Dam berlari melintasi lorong,
menaiki anak tangga, membongkar koper besar, memindahkan uang yang dia
kumpulkan setahun terakhir ke dalam ransel dan langsung berlari meninggalkan
Akademi Gajah. Sepanjang malam Dam bergumam gelisah. Mendesahkan doa ke
langit-langit gerbong dan berdoa agar ibunya sembuh. Saat sampai di rumah
sakit, Dam begitu sedih melihat ibunya terbaring lemah di ranjang. Kepalanya
sudah digunduli. Selang infuse dan belalai menghujam atas-bawah, kiri-kanan. Ibu
belum siuman sejak jatuh pingsan kemarin sore. Dokter bilang kondisinya stabil.
Itu kabar yang didapat Dam dari ayahnya. Ayah juga bilang kalau ibu akan sembuh
dan akan baik-baik saja. Tapi Ayah Dam bohong. Saat Dam selesai menumpang mandi
di toilet rumah sakit. Ibu dibawa kembali ke ruang gawat darurat. Dokter bilang
komplikasinya menyebar ke mana-mana.
Kenapa Ayah tak pernah cerita setahun lalu kondisi
ibu memburuk?
Itu pertanyaan pertama Dam saat dokter meninggalakan mereka. Ayahnya hanya
diam, kemudian bilang kalau mereka tidak ingin membuat Dam cemas dan mengganggu
sekolah Dam. Dam menyergah dan mengatakan bahwa seharusnya ibunya menjalani
perawatan panjang itu, dan ayahnya hanya bilang kalau itu semua percuma. Malam
itu terjadi perdebatan panjang antara Dam dan ayahnya.
Ayah
menceritakan kepada Dam bahwa dua puluh tahun yang lalu, saat ayah dan ibu Dam
baru saja menikah, si Raja Tidur bilang bahwa semua sakit ada obatnya kecuali
tua. Sayangnya,pengetahuan medis saat itu belum cukup memadai untuk mengobati
kelainan bawaan Ibu Dam. Si Raja Tidur adalah ayah angkat Ayah Dam, dia
mempunyai empat gelar professor dan delapan bidang ilmu pengetahuan yang
dikuasainya, termasuk ilmu kedokteran. Si Raja tidur bilang bahwa tidak ada
obat yang dapat membuat ibu sembuh. Satu-satunya yang membuat Ibu Dam bertahan
adalah rasa bahagianya. Semakin bahagia dirinya, semakin lama dia bertahan. Dua
puluh tahun Ibu Dam bertahan dalam sakitnya. Ibu Dam benar-benar bahagia dua
puluh tahun terakhir.
Tapi Dam membantah. Dam tahu ibu tak
pernah bahagia selama dua puluh tahun terakhir. Dua puluh tahun ibunya hidup
apa adanya. Sehat empat bulan, jatuh sakit satu-dua minggu. Dam tidak pernah
melihat ibunya tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibunya
tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah.
Kehidupan ibunya hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia, tetapi ibu
tidak pernah mengeluh. Itulah yang dia tahu tentang kehidupan ibunya.
Ayah Dam masih tetap pada pada
keyakinannya bahwa definisi kebahagian Ibu Dam berbeda dengan kebanyakan orang.
Ayah Dam bilang bahwa definisi kebahagian ibu bukan tentang uang atau jabatan,
tapi kebahagian ibu adalah dengan melihat Dam tumbuh dewasa dan sukses serta
melihat keluarga kecilnya bahagia.
Dam berteriak pada ayahnya, Dam
bilang pada ayahnya bahwa dia tidak pernah percaya lagi cerita-cerita ayah. Si
Raja Tidur, apel emas, layang-layang raksasa, itu hanya ada di buku cerita. Dan
ayah hanya mengarang-ngarangnya dari sana. Ayah Dam langsung menatap anaknya
setengah tidak percaya. Kalimat Dam telah menyinggung harga dirinya dan
menyakitinya. Dam kemudian beranjak berdiri, merapat ke jendela operasi. Di
dalam sana, tubuh ibunya terlihat berontak dan dokter bergegas melakukan
sesuatu. Tapi usaha mereka sia-sia. Ibu Dam tak dapat diselamatkan.
Saat itu Dam berdiri dengan seluruh
kesedihan di hatinya. Tanah pekuburan lengang, para pelayat sudah pulang,
termasuk keluarga besar Jarjit, walikota, pelatih, kepala sekolah SMP Dam dulu,
bos loper koran, kerabat, tetangga dan kenalan yang sebagian besar tidak
dikenali Dam. Satu persatu mereka membentuk antrean panjang menyalami Dam dan
ayahnya.
“Belum pernah ada pemakaman seramai
ini.” bisik salah satu pelayat
“Kau benar, sepertinya seluruh kota
berkumpul.” Rekannya mengangguk
Dam tak peduli, satu orang pelayat
atau seribu orang yang datang, itu semua tetap tidak mengubah kesedihannya.
Saat Dam mulai sedikit lapang dari
sesak kesedihan, mulai bisa keluar rumah setelah berhari-hari mengurung diri,
Dam menumpang kereta kembali ke Akademi Gajah, ujian kelulusan sudah selesai
berminggu-minggu lalu. Dam tidak sempat mengikuti ujian kelulusan di Akademi Gajah.
Halaman rmput asrama lengang, libur panjang, murid-murid pulang.
Dam
menemui kepala sekolah. Dia begitu terkejut saat kepala sekolah memberikan
ijazah kelulusan untuk Dam. Dam lulus dari Akademi Gajah. Nilai sempurna untuk
kelas menggambar dan pengetahuan alam. Nilai rata-rata untuk enam pelajaran
lainnya, serta nilai cukup untuk memanah, dan satu lagi, dua penghargaan
tertinggi dari Akademi Gajah. Satu, untuk pencapaian dalam mengembangkan
hubungan baik dengan penduduk perkampungan. Dua, untuk pencapaian dalam
mengembangkan pemahaman hidup yang bersahaja. Itu yang dijelaskan oleh kepala
sekolah.
“Tetapi aku tidak mengikuti satu
ujian pun. Bagaimana mungkin aku dianggap lulus?”
Dam bertanya
“Kau seperti melupakan betapa luar
biasanya sekolah di Akademi Gajah, Dam,” Kepala sekolah berkata
takzim. “Kami tidak mendidik kalian
sekedar mendapatkan nilai di atas kertas. Seluruh kehidupan kalian tiga tahu
terakhir, dua puluh empat jam, baik di kelas ataupun tidak adalah proses
pendidikan itu sendiri. Itulah penilain
yang sebenar-benarnya. Kau lulus dengan baik, Dam.”
Dam terdiam, memeriksa map biru
pemberian kepala sekolah. Namanya tertulis indah dan rapi di atas selembar
ijazah, juga dua penghargaan tertinggi yang dia dapatkan. Satu amplop putih
terjatuh dari map.
“Ah ya, aku lupa, itu surat
pengantar dari Akademi Gajah. Besok lusa kalau kau ingin melanjutkan pendidikan
ke tingkat lebih tinggi, kau berikan surat itu ke mereka. Ssttt, aku beritahu
kau rahasia
kecil sekolah kebanggaan kita ini, bahkan universitas ternama di seluruh dunia
tidak bisa mengabaikan surat pengantar Akademi Gajah.”
Kepala sekolah tersenyum
“Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa
kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tida peduli seberapa menyakitkan
atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang mnjadi obat. Kau akan menemukan
petualangan hebat berikutnya di luar sana.” Kepala sekolah berkata dengan
bijaksana.
Dan apa yang dikatakan kepala
sekolah benar adanya. Dam diterima masuk universitas dengan jurusan arsitektur,
itu jurusan terbaik di seluruh negeri. Padahal Dam terlambat mendaftar dan
terlambat masuk hampir satu bulan. Dam diterima, bahkan tanpa melewati satu
soal ujian pun. Dam hanya menyerahkan selembar surat pengantar dari Asrama
Gajah, dan Dam resmi menjadi seorang mahasiswa arsitektur. Menurut Dam, sekolah di Akademi Gajah
sama tidak masuk akalnya dibanding cerita tentang apel emas atau Suku Penguasa
Angin.
Uang yang ditabung Dam setahun
terakhir digunakannya untuk biaya kuliah dan menyewa flat kecil dekat kampus.
Dam memutuskan meninggalkan rumah agar lebih dekat dengan kampusnya. Ayahnya
hanya menapat datar saat Dam berpamitan. Sejak hari itu dam jarang bertemu
dengan ayahnya. Hanya sesekali saat rasa rindu pada ibunya muncul, Dam
menyempatkan diri singgah. Itupun hanya sebentar,
Waktu berjalan cepat. Dua tahun Dam
di tempat baru, kehidupan baru, dan mungkin kesendirian yang baru. Hari itu Dam
pergi ke gedung jurusan ilmu pasti, Dam akan mengikutsertakan denah gambarnya
dalam lomba desain. Terlebih dulu, Dam menacri makan di kantin jurusan
tersebut. Tak disangka dan tak diduga, ternyata di sana Dam bertemu dengan
Taani, sahabatnya dulu.
“Kau Dam, kan ?”
Taani menyeringai lebar saat berpapasan dengan Dam
Dam
termangu melihat Taani
“Kau pasti Dam.” Taani tertawa.” Tidak ada mahasiswa yang akan ringan tangan
memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum
saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar
ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau
pasti Dam.” Taani menjelaskan dengan penuh semangat.
Dalam hitungan menit, Dam dan Taani
kembali menjadi teman dekat. Taani sekarang kuliah di jurisan biologi. Dia
ingin jadi florist dan punya toko bunga. Mereka juga menceritakan teman-teman
lama. Johan sekarang kuliah di kota lain, tapi Taani lupa Johan ambil jurusan
apa. Jarjit katanya satu kampus dengan anak-anak presiden seluruh dunia. Dan
Papa Taani sudah berhenti melatih, dia pensiun sekarang. Klub renang Dam dulu
tetap menjaga reputasi hebatnya. Nomor estafet yang dimenangkan Dam dulu tidak pernah terkalahkan enam tahun
terakhir. Taani dan Dam berpisah saat Dam harus segera menyerahkan selusin
sketsa desainnya.
Malam itu, malam festival kembang api. Dam diundang ke
rumah Taani, untuk acara makan malam keluarga. Mereka ingin bertemu Dam. Sudah
hampir dua tahun Dam mengenal kembali Taani. Kuliah Dam di jurusan arsitektur
memasuki tahun-tahun
terakhir. Taani bahkan sudah menyelesaikan tugas akhirnya, lulus lebih cepat
dibanding siapa pun. Keluarga kecil Taani yang datang malam itu begitu ramai.
Keluarga kecil yang begitu ramai, itu yang dipikirkan Dam saat itu. Malam itu
Dam menjadi bahan gurauan keluarga itu sepanjang makan malam. Taani pandai
membuat Dam akrab dengan keluarganya. Saat beberapa anggota keluarga pamit
pulang. Dam berdiri menatap langit yang terang oleh kembang api. Papa Taani
ikut berdiri di samping Dam
“Apa kabar ayah kau, Dam?”
Papa Taani bertanya.
“Baik, pelatih. Ayah baik dan
sehat,” Dam menjawab.
Papa
Taani tertawa dan menepuk buku Dam. “Kau
tidak akan terus memanggilku pelatih, bukan ?”
Dam
menggeleng patah-patah.
“Sampaikan salamku padanya, Dam.
Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang datang makan malam bersama
kami. Ini kehormatan. Kami percaya, kau akan menjaga Taani dengan baik.”
Mungkin karena perasaan canggung,
grogi, atau entalah, Dam jadi mangabaikan betapa menyenangkan melihat wajah
platih saat mengatakan kalimat itu. Bahkan setahun kemudian saat pernikahan Dam
dan Taani, Dam tidak perlu melamar Taani.
Sebulan setelah makan malam dengan
keluarga Taani, Dam membawa Taani menemui ayahnya. Malam itu, setelah sekian
lama menolak permintaan Taani untuk berjumpa dengan ayahnya, Dam tidak bisa
menghindar lagi. Taani begitu bersemangat ingin berjumpa dengan calon
mertuanya. Umur Ayah Dam enam pluh tahun saat Dam membawa calon istrinya ke
rumah. Rambut ayahnya sekarang separuh beruban dan separuhnya lagi rontok. Sejak
Ibu Dam meninggal empat tahun lalu, kondisi fisik ayah berubah drastis.
Tubuhnya lebih kurus. Raut mukanya lebih redup.
Makam
malam itu tidak semenakutkan yang Dam duga. Taani menyenangkan, memperlakukan
Ayah Dam dengan hormat. Dan ayah bersikap bijak. Malam itu saat Dam akan
mengantar Taani pulang dan pamit untuk langsung ke flat sewaannya. Ayah Dam
mengantar mereka berdua sampai ke pintu rumah.
“Apakah ayah boleh memelukmu, Dam?” Ayah
Dam bertanya.
Dam
langsung salah tingkah. Baiklah, tidak ada salahnya memberi ayah satu pelukan.
Pikir Dam. Terakhir kali Dam memeluk ayahnya lima-enam tahun lalu atau mungkin
lebih dari itu.
Dam
keliru.
Dam pikir, surat maaf dari Zas dan
Qon sudah menyelesaikan masalah. Ayahnya juga belakangan berkurang drastis bercerita
pada Zas dan Qon. Sebulan berlalu, Dam tidak mengungkit lagi pembicaraan
malam-malam setelah surat panggilan dari sekolah Zas dan Qon. Zas dan Qon
kembali ke rutinitas sekolah. Taani sibuk dengan toko bunganya.
Saat pulang ke rumah, Dam melihat Zas dan Qon
sedang asyik membuka laptop kerja Dam. Mereka sudah terbiasa memankan laptop
kerja ayahnya, tapi malam itu Dam begitu marah
karena melihat Zas tengah mencari entri nama Akademi Gajah di kolom
mesin pencari dunia maya, di bawahnya tertulis, tidak ditemukan laman yang cocok dengan kata di atas.
Dam sangat marah karena dia sudah
bilang ke ayahnya untuk menghentikan cerita-cerita itu. Dan tidak ada lagi yang
boleh melanggar peraturan di rumah tersebut. Saat Dam bertanya pada kedua
anaknya, dari mana mereka tahu Akademi Gajah, Zas dan Qon mengatakan dengan
takut-takut bahwa mereka tahu itu dari cerita kakek. Dam juga begitu marah saat
tahu kalau ayahnya juga menceritakan cerita tentang ibunya. Bercerita pada Zas
dan Qon bahwa dulu nenek mereka adalah seorang bintang televisi. Saat itu emosi
Dam langsung meledak. Dengan cepat dia menyuruh Zas dan Qon untuk masuk kamar.
Semenara Zas dan Qon terus memohon kepada ayah mereka untuk tidak marah pada
sang kakek.
Dam teringat masa lalunya. Dulu dia
juga marah. Hari itu presentasi akhir kelulusan Dam. Taani menemaninya menunggu
di luar ruang sidang. Saat itu Taani menceritakan cerita Ayah Dam tentang
ibunya. Taani bilang bahwa dulu Ibu Dam adalah seorang bintang televisi
terkenal, karier ibu menanjak, sibuk siang-malam, hingga Ibu Dam divonis
menderita penyakit kelainan bawaan itu, cepat lelah, mudah jatuh sakit. Tapi
Dam tidak percaya dengan cerita ayahnya yang disampaikan kepada Taani. Coba
pikir pakai logika. Kalau ibu dulu bintang televisi terkenal, kenapa dia hanya
menjadi ibu rumah tangga, mengurus keluarga tanpa pembantu dan kenapa juga ibu
mau menikah dengan ayah yang hanya seorang
pegawai negeri rendah yang terlalu jujur dan sederhana.
Mendengar perkataan Dam itu, Taani
begitu marah dan langsung pergi meninggalkan Dam. Gara-gara permasalahan itu
Dam dan Taani bertengkar serius. Berhari-hari Taani menolak berbicara dan
bertemu dengan Dam. Saat Dam berkunjung ke rumah Taani untuk meminta maaf, dia
selalu membawa bunga untuk Taani. Hari itu Dam berhasil membujuk Taani untuk
keluar kamar dan menyelesaikan permasalahan antara mereka.
Enam bulan kemudian, Dam dan Taani
menikah. Karena Taani memaksa tempat pernikahan dipindahkan ke rumah Ayah Dam,
maka acara dilaksanakan di sana. Seluruh kota seperti berkumpul di rumah kecil
mereka. Dua tahun kemudian, Zas putra pertama Dam dan Taani lahir. Toko bunga
Taani berkembang pesat. Ia punya kebun di lereng bukit kota. Karier Dam sebagai
seorang arsitek juga berkembang pesat. Desain terakhir Dam untuk sebuah
bangunan teater mewah mengundang perhatian banyak orang. Mereka sibuk bertanya
dari mana ide desain secemerlang itu.
Sebenarnya, meskipun menbenci cerita-cerita ayahnya, Dam selalu menjadikannya
sumber inspirasi tidak terbatas. Cerita-cerita yang didenganya saat kanak-kanak
itu berubah menjadi imajinasi tentang bangunan.
Setelah dua tahun menikah dengan
Taani, Taani mulai meminta kepada Dam untuk mengizinkan Ayah Dam tinggal
bersama mereka dengan alasan bahwa ayah sudah terlalu tua untuk tinggal sendiri
di rumah sederhananya. Dua tahun berselang dari kelahiran Zas, Taani dan Dam
kembali dianugerahkan seorang bayi perempuan. Putri mereka itu diberi nama Qon.
Waktu berjalan cepat, kini usia Zas sudah enam tahun dan usia Qon empat tahun.
Toko bunga Taani bertambah menjadi dua. Dan Dam berhasil menyelesaikan studinya
tentang teknik fisika dan elektronika. Taaninberkali-kali mengajak Zas dan
Qon mengunjungi kakek mereka, membiarkan
ayahnya bercengkerama dengan cucu-cucu menggemaskan. Semua itu dilakukan Taani
sebagai usahanya untuk meyakinkan Ayah Dam agar mau tinggal bersama mereka. Dan
tepat setahun kemudian ayah siap untuk meninggalkan rumah kecil itu dan pindah
ke rumah Dam dan Taani.
“Aku tidak akan membiarkan ayah
meracuni Zas dan Qon dengan cerita-cerita bohongnya,” Dam
berbicara dengan tegas.
“Tidak bisakah kau bicara
baik-baik, Dam?” Taani melotot. “Mari kita mulai pembicaraan dengan menyingkirkan lebih dulu cerita itu
bohong atau tidak. Ada ratusan dogeng ayah yang tidak mengungkit-ungkit apakah
dia terlibat dalam cerita. Toki si Kelinci Nakal misalnya.
Itu dogeng yang baik. Zas dan Qon senang medengarnya.”
“Zas
dan Qon sudah?Meraka sudah mendengarnya
?”
“Saat
mereka mengunjungi ayah seminggu lalu. Saat pulang, Qon bahkan memegang tanganku.
Dengan mata bekerjap-kerjap, Qon berkata,’Qon sayang Mama. Qon tidak akan nakal
lagi seperti Toki si Kelinci.’” Jelas Taani dengan mata berkaca-kaca.
Dam terdiam. Itu menjelaskan kenapa Qon juga tiba-tiba
menyeruak ke ruang kerjanya, naik ke atas pangkuan Dam, dan berkata “Qon sayang Papa. Qon tidak akan
berteriak-teriak dan merepotkan Papa lagi kalau mau ke kamar mandi, Qon juga
sayang Mama. Qon tidak akan nakal lagi seperti Toki si Kelinci.” Dam begitu
terharu mendengar kalimat dari putrinya yang saat itu masih lima tahun.
Taani terus membela Ayah Dam. Taani bilang bahwa tidak
semua cerita-cerita ayah buruk. Bahkan itu bisa mendidik anak-anak menjadi
lebih baik. Taani mengingatkan Dam bahwa Dam mewarisi tabiat baik cerita-cerita
itu. Seluruh penghuni kompleks mengenal Dam. Dam yang ramah, baik hati, dan
ringan tangan membantu. Dam yang selalu menyapa, Dam yang pandai mendamaikan
pertengkaran. Bahkan sopir angkutan umum di terminal kota mengenal Dam dan
mereka akan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya rumah Dam sang
arsitek. Dan Ayah Dam juga dikenal di seluruh kota sebagai pegawai yang jujur
dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan pejabat tinggi, tetapi martabatnya
tidak tercela, bahkan Papa Jarjit pernah bilang kalau ayah adalah orang paling
terhormat dibanding kolega bisnisnya yang paling kaya sekalipun. Ayah hidup
sederhana karena itu pilihannya. Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum
terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat
tinggi. Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Tapi ayah hanya memilih menjadi
pegawai negeri biasa dan hidup sederhana. Malam itu Dam dan Taani bertengkar
hebat, dan masalah yang di debatkan adalah soal Ayah Dam. Malam itu Taani
menangis, Zas dan Qon terlihat mengintip dari balik pintu kamar, dan mereka
ikut menagis.
Zas dan Qon selalu senang menghabiskan waktu bersama
kakek mereka. Taani mendapatkan amunisi terbesarnya, ia mengungkit kesepakatan
sebelum menikah. Tentu saja Dam ingat kalimat itu, Dam selalu ingat apa yang
dia ucapkan.
“Dan
satu lagi, kalau kita jadi menikah, ingat ya, kalau. . .kita bisa saja batal
menikah meski semua detail acara sudah diurus. Kalau kita jadi menikah, ayah
kau adalah calon kakek anak-anak kita. Aku tidak akan memisahkan sedikit pun
mereka dari kakeknya.”
Itulah syarat yang diajukan Taani saat akan menikah
dengan Dam.
Enam
bulan Ayah Dam tinggal bersana anaknya dan taani serta kedua cucunya. Dan malam
ini semua harus berakhir. Malam itu, saat penat lepas pulang dari perjalanan
jauh. Dam mendapati anak-anaknya sedang mencari tahu kata “Akademi Gajah” lagi
di dunia maya, Dam akan membuat keputusan tegas. Malam itu terjadi perdebatan
serius antara Dam dan ayahnya. Ayah mulai tersengal, tubuh tuanya bergetar. Dam
tidak akan berhenti sebelum ayahnya benar-benar
berhenti bercerita.
“Kau
seperti tidak suka Ayah tinggal di sini, Dam.” Itulah kalimat pertama Ayah Dam setelah terdiam sejenak,
berusaha mati-matian mengendalikan dirinya.
“Ya,
aku memang tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita
itu bohong.” Dam berkata dengan tegas.
“Aku
tidak berbohong.” Ayah Dam
menggeleng
“Kalau
begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari . . .”
Kalimat Dam terputus oleh perkataan Taani. Sambil
menangis berusaha menutup mulut Dam, Taani terus memohon untuk tidak mengusir Ayah
dari rumah mereka. Taani sudah memeluk Dam.
“Itu
Ayah, Dam. Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak berlarian
saat kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam.” Kata Taani memperingatkan.
Di atas sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka
bisa mendengar pertengkaran di ruang keluarga. Dengan semua keberaniannya, Zas
berteriak, “Ini semua salah Zas! Zas-lah
yang meminta Kakek bercerita tentang sekolah Papa, tentang Nenek!”
“Baiklah-baiklah.” Ayah Dam berdiri, matanya redup menatap Dam. “Ibu kau benar, Dam. Tidak seharusnya aku
dulu menceritakan petualangan masa itu. Ibu kau benar, suatu saat aku tidak
akan siap dengan akibat-akibatnya.” Suara Ayah Dam semakin parau malam itu
Taani
langsung mencegah Ayah Dam untuk tidak pergi dan Zas dan Qon sudah mendorong
pintu kamarnya, dan berlari menuruni anak tangga, ikut memeluk kakek mereka.
Zas dan Qon menangis dan mencoba membujuk sang kakek untuk tidak pergi. Namun,
keputusan Ayah dam untuk pergi sudah bulat, dengan jaket lusuhnya Ayah
menghilang di balik pintu rumah mereka. Ayah pergi malam itu juga saat hujan
deras.
Drama
setengah jam itu berakhir. Dam merebahkan dirinya di atas kursi, menatap laptop
yang berdering pelan. Dam baru menyadari sebuah keajaiban besar. Mesin pencari
di laptopnya tersambung ke seluruh ensiklopedia besar dunia. Tetapi bagaimana
mungkin tidak ada satu pun laman yang pernah membahas Akademi Gajah, padahal
Dam menghabiskan waktu selama tiga tahun di sana. Dam kemudian memasukkan nama
lengkap ibunya. Satu detik berselang, dua belas ribu hasil pencarian muncul.
Berita-berita yang pernah memuat tentang ibunya, artikel yang menulis
tentangnya, kritikan, dan pujian ats kariernya. Dam tersedak. Taani benar,
kebenciaan itu membuat Dam tidak adil.
Tangan
Dam bergetar menggerakkan mouse, menggeser ribuah hasil pencarian. Sebuah kolom
berjudul ‘Bintang televisi menikahi pria biasa” menghentikan gerakan dam.
Hujan di
luar semakin deras. Cerita tentang Akademi Gajah bukan bohong, tidak peduli
walau tidak ada satu pun lama yang pernah menulisnya. Cerita tentang ibunya
lebih benar lagi. Ribuan bukti terserak di depan Dam. Dam lelah berfikir, besok
pagi, keputusan malam ini bisa Dam bicarakan lagi dengan Taani.
Sayangnya,
tidak ada lagi waktu untuk esok. Saat loper koran melemparkan koran ke halaman,
telepon rumah Dam berdering. Taani yang sedang menyiapkan sarapan
mengangkatnya. Taani dengan suara bergetar memnggil Dam, menangis.
“Ada
apa?” Dam bertanya.
“Ayah...
Ayah ditemukan pingsan di pemakaman kota,” Taani berkata lemah, jatuh terduduk.
Di rumah
sakit, petugas yang menjaga pemakaman kota berkali-kali minta maaf pada Dam,
bilang bahwa dia seharusnya melarang Ayah Dam malam-malam, hujan-hujanan masuk
ke pemakaman kota. Ayah dam memaksa ingin ke pusara Ibu Dam malam itu. Saat itu
ayah belum sadar. Sejenak, saat berdiri menatap ayahnya dari kejauhan yang
sedang dikerumuni dokter dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Dam
teringat momen yang sama saat dulu menatap ibunya. Tubuh ayahnya kini dililit
infus dan belalai. Kesibukan yang sama dan rasa takut yang sama tiba-tiba
memenuhi hatinya. Dam dulu takut sekali jika ibunya tidak sempat membuka mata
sebelum Dam memeluknya, bilang betapa Dam menyayanginya. Dam menatap
langit-langit ruang tunggu, mengingat pertengkaran semalam. Dam mengusir
ayahnya dari rumah. Ayah pergi ke pusara Ibu.
Malam
harinya, saat Zas dan Qon tertidur, salah satu dokter keluar dari pintu kaca,
memanggil Dam, dan bilang kalau ayahnya sudah siuman dan ingin bertemu dengan
Dam. Doketer memberikan waktu tiga puluh menit untuk Dam menemui ayahnya. Dua
belas jam menunggu kabar ayahnya, sedikit-banyak membuat kemarahan Dam
menghilang. Saat tiba di ruang operasi, kondisi ayahnya menyedihkan. Tubuh
kurus tua itu terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit. Matanya redup.
Napasnya tidak teratur.
“Dam.” Ayah tersenyum melihat dam
Dam mengangguk.
‘Ayah,
apa kabar?” Dam bertanya
pelan.
“Buruk,
Dam. Buruk sekali.” Ayah tertawa
kecil. “Dam, maafkan Ayah, maafkan Ayah
yang telah membuat ibu kau pergi. Kau benar, Dam. Seharusnya Ayah tidak mempercayai
kalimat si Raja Tidur. Sehebat apa pun dia, sebijak apa pun dia, seharusnya
Ayah lebih memercayai naluri untuk melakukan apa saja untuk menyembuhkan ibu
kau.”Ayah Dam sedikit tersengal. “Maafkan
Ayah, Dam. Ayah sudah keliru memahami urusan kita. Ayah pikir Ayah-lah orang
yang paling sedih, paling kehilangan. Ayah keliru. Kaulah... ya, kaulah orang
yang paling sedih atas kepergian ibu kau.”
Dam menggeleng, bergegas mendongak, mencegah air mata
tumpah. Tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada. Sejatinya mereka berdua sama
sedihnya atas kepergian ibu.
Malam itu, dalam keadaan sakit Ayah Dam menjelaskan pada
putranya itu apa arti hakikat sejati kebahagiaan hidup.
“Dam,
hakikat sejati kebahagiaan hidup itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana
kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun
belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak
akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar
kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda, pangkat,
jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang,
dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar
buruk, nasib buruk, itu semua juga akan datang
dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika
keruh berkepanjangan.” Ayah mulai tersengal
“Ayah,
istirahatlah dulu, besok saja kita lanjutkan.” Kata Dam
“Tidak,
Dam. Kau harus mendengar ini sampai selesai.” Ayah kembali melanjutkan. “Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air
dalam hati itu konkret, dam. Amat terlihat. Mata itu menjadi sumber kebahagiaan
tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan,
kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut bahagia, karena hati kau lapang
dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, dia dengan
segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang. Itulah hakikat
sejati kebahagiaan hati, Dam.”
“Apakah
ibu kau bahagia? Saat itu dia terkenal, kaya, dan berpengaruh. Hingga kesedihan
itu tiba. Dia jatuh saat menghadiri pesta. Dokter bilang, usianya tidak akan
lebh dari dua tahun. Ibu kau kehilangn gairah hidup. Orang-orang di sekitarnya
bergegas pergi meninggalkannya. Ayah bertemu dengannya saat pesawat kami
mengalami keterlambatan dua belas jam. Wajahnya pucat, tangannya sering
gemetar. Kami berkenalan. Ayah menikah dengannya enam bulan kemudian. Ayah
membawanya ke si Raja Tidur setahun kemudian. Kami bicara malam itu. Ibu kau
bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun lagi. Dan kau lahir, Dam. Energi
kebahagiaan saat melihat kau menangis menyambut kehidupan membuat ibu kau
bertahan. Ibu kau bertahan bahkan lebih lama dibandingkan perkiraan si raja
Tidur. Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya, meski
harus hidup sederhana. Dia paham, dan memilih jalan itu, karena Ayah jauh-jauh
hari juga sudah memilih jalan itu.” Ayah Dam mengeluarkan air mata saat bercerita.
“Apakah
Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam,
mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa
merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki. Sebaliknya,
kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, harta benda, itu semua tidak akan
menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kau miliki.” Ayah mengakhiri ceritanya dengan senyum yang mengembang.
“Apakah
ibu kau bahagia, Dam? Kau sekarang tahu jawabannya.”
Saat Ayah Dam menyelesaikan perkataannya, Dam sudah
memeluk ayahnya dengan sangat erat. Dam tidak menduga kalau itu adalah pelukan
terakhir Dam untuk ayahnya.
Pagi itu, Ayah Dam dimakamkan. Antrean pelayat mengular
panjang. Dam tidak pernah melihat keramaian seperti ini sebelumnya di kota,
keramaian ini mengalahkan kejuaraan nasional renang, bahkan tur sang kapten dua
puluh tahun silam. Dam mengangguk pelan menerima setiap kalimat pujian untuk
ayahnya, kalimat membesarkan hati, kalimat ikut berdukacita.
Saat Dam mendongak ke atas. Ada sembilan formasi
layang-layang besar di sana. Dam
mendesah. Sepertinya itu bukan minggu festival layang-layang. Layang-layang itu
terlihat anggun, mengambang.
“Pa,
jangan-jangan itu formasi layang-layang sembilan klan Suku Penguasa Angin.
Mereka datang untuk melayat Kakek,” Zas yang berdiri di sebelah dam berbisik.
Dam hanya tertawa kecil medengar pendapat anaknya
tersebut.
Di tepi
pemakaman terdengar teriakan-teriakan. Seruan-seruan tertahan. Kerumunan
mencair. Anak-anak muda berlarian. Di
tepi pemakaman, pemain bola terhebat itu tersenyum lebar, melambaikan tangan,
dan bergerak maju mendekati pemakaman Ayah Dam. Tidak hanya sendiri, dia datang
bersama pemain legendaris. Itulah si Nomor Sepuluh, di belakangnya juga berdiri
sang Kapten kebanggaan Dam, dia tersenyum ramah kepada semua orang di
pemakaman. Si nomor sepuluh tinggal sepuluh langkah lagi dari pemakaman Ayah
Dam. Zas dan Qon sudah loncat mendekat.
“Kalian
pasti dua monster kecil itu,”
kata si Nomor Sepuluh. “Tidak salah lagi,
kalian pasti dua monster kecil itu.”
Dam benar-benar kehabisan kata-kata. Taani memeluk Dam
erat-erat, berbisik, ”Ayah tidak pernah
berbohong, Dam. Ayah tidak pernah berbohong.”
Bintang sepak bola itu memeluk Zas dan Qon, menggendong
mereka, lantas bergerak mendekati Dam. ”Kau
tidak tahu betapa bencinya aku pada ayah kau, Dam.” Ia tertawa. “Setiap malam ketika aku terlambat pergi
latihan, pamanku, kapten tua ini, selalu menceramahiku dan menyebut-nyebut ayah
kau. Memaksaku berlatih siang-malam, tidak sempat pergi bermain.”
Sang Kapten melangkah mendekati Dam, menyalaminya penuh
penghargaan, ikut tertawa. “Jangan
dengarkan dia. Sejak kecil dia memang pemalas, tidak tahu berterima kasih.
Seharusnya dia melihat sendiri bagamana kapten tua ini dulu diceritakan ayah
kau tentang kerja keras, pantang menyerah.”
Dam kehabisan kata-kata, tidak mengerti, silih berganti
menatap si Nomor Sepuluh yang menggendong Zas dan Qon dan sang Kapten yang
berdiri di depannya.
“Ayah
kau pastilah tidak pernah bilang itu.” Sang Kapten seperti tahu apa yang dipikirkan Dam. “Tentu saja, karena sejatinya tanpa bertemu
dengan ayah kau saat aku menjadi pengantar
sup jamur, aku tidak akan pernah menjadi pemain hebat. Dan tanpa itu,
keponakanku yang pemalas ini juga tidak akan pernah menjadi pemain hebat,
karena aku tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datng ke klub
itu, bilang aku berhak mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan
klub itu ke komite olahraga karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara
tinggi badan.” Dia kembali mengenang perjuangan Ayah Dam untuk dirinya.
“Senang
akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam. Satu-satunya penyesalanku
adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja
setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agenku mencari
tahu. Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau
menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke panitia pertandingan, tidak ada yang
tahu. Untunglah keponakanku ini ikut mencari. Dia berhasil mendapatkan nomor
telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau. Kami
merencanakan datang saat libur musim kompetisi. Lihat, aku datang amat
terlambat. Ayah kau sudah pergi.”
Mata Dam
tiba-tiba basah oleh air mata. Orang-orang masih berepuk tangan. Jarjit yan
dulu bangga sekali punya bola bertanda tangan sang Kapten mengacungkan jempol,
tersenyum. Sang Kapten sudah memeluk Dam erat-erat. “Aku turut berdukacita, Dam. Ayah kau adalah segalanya bagi kapten tua
ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.”
Dam balas memeluknya erat-erat, menangis terisak.
“Ayahku
bukan pembohong.” Dam berkata
dengan tegas
Hari itu Dam tahu bahwa ayahnya bukan seorang pembohong.
Penilaian
Buku:
·
Kelebihan buku
1.
Pesan
moral yang disampaikan di dalam novel sangat kuat.
2.
Banyak
kearifan yang bisa dicontoh dari cerita tersebut.
3.
Isinya
membuat kita merasa perlu memperbanyak kecintaan kita pada keluarga, terutama
ayah.
4.
Isinya
sangat menggugah dan membuat haru, penikmat novel akan merasa terharu setelah
membaca novel ini.
5.
Di
dalam novel ini banyak terdapat kata-kata motivasi dan inspirasi yang akan
membuat pembacanya termotivasi dan terinspirasi.
6.
Menyajikan
tentang arti hakikat kebahagiaan sejati dalam kehidupan yang selama ini disalah
artikan oleh kebanyakan orang.
7.
Kata-kata
yang digunakan di dalam novel mudah dipahami dan dicerna oleh semua golongan
penikmat novel, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua
sekalipun.
8.
Saat
pembaca membaca novel ini, seakan-akan dia merasa menyatu dengan cerita dan
merasa menjadi bagian dari cerita tersebut.
·
Kekurangan buku
1.
Menceritakan
hal-hal yang menurut logika manusia tidak masuk akal, misalnya layang-layang
raksasa yang terbang dan di kendarai oleh manusia.
Penilaian
saya
Novel
ini sangat layak untuk dibaca oleh semua orang, baik dalam kalangan penikmat
novel atau bukan. Karena di dalam novel ini memaparkan bagaimana seharusnya
kita menuntut ilmu, bersikap baik kepada kedua orang tua dan kepada semua orang
yang kita kenal maupun tidak kita kenal serta menghargai semua orang. Pada
awalnya cerita di novel ini biasa-biasa saja, namun, seiring dengan berjalannya
cerita, novel ini semakin menarik untuk dibaca. Novel yang begitu mengharukan.
Saran
saya, siapkan tisue sebelum anda membaca novel ini, karena akan ada banyak
kejutan di novel ini yang dapat menggugah hati anda. Saya jamin bahwa para
pembaca tidak akan berpaling ke novel lain sebelum menyelesaikan membaca novel
ini. Untuk semua yang akan membaca novel ini, mulailah membaca novel ini dengan
hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin
menemui ayah anda, sebelum semuanya terlambat, dan berkatalah bahwa, “Aku
percaya bahwa Ayah bukan pembohong.” :)
3 komentar:
kenapa pada judul novel kata "bukan" diberi dalam kurung???
pola cerita dan endingnya mirip film The Big Fish bukan?
Komen wae g tau terimakasih apa?
Posting Komentar